Jumat, 02 Mei 2008

KONSELING DI SEKOLAH *)

I. PENDAHULUAN

Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Selanjutnya disingkat Program BK) sudah berlangsung sejak awal Tahun 1963/1964 tetapi secara resmi masuk dalam Kurikulum Sekolah mulai T.A. 1975. Sejak itu Program BK berkembang dengan segala pasang surutnya sampai sekarang ini. Bagaimanapun Program BK (Dulu dikenal dengan Program Guidance and Counseling (GC), trus Program Bimbingan Penyuluhan (BP) dan sejak Kurikulum 1995 menjadi Program BK) banyak dibicarakan masyarakat khususnya masyarakat sekolah. Jujur diakui pembicaraan Program BK lebih miring ke citra Program BK yang kurang profesional. Sehingga banyak fihak memandang bahwa Program BK ada atau tidak ada ya tidak apa-apa. Benarkah??

Layanan Konseling di Sekolah (Ini tema yang seharusnya) adalah salah satu jenis layanan yang ada dalam Program BK di Sekolah. Tetapi dalam prakteknya layanan konseling lebih sering dibutuhkan dibandingkan dengan layanan bimbingan. Oleh karena itu seringpula dikatakan bahwa layanan konseling merupakan inti (jantung hati) program BK. Program BK pada dasarnya berupaya untuk melibatkan sebanyak mungkin fihak-fihak di sekolah, khususnya guru (dan bisa juga Ortu). Bagaimana halnya dengan layanan konseling? Layanan konseling profesional hanya dapat dilaksanakan oleh petugas yang memang dipersiapkan untuk menjadi konselor sekolah (Dulu Guru BP / BK). Meski demikian, Guru Bidang Studipun dapat dilibatkan dalam penyelenggaraan layanan konseling, khususnya dalam “eksplorasi” data klien pada layanan konseling untuk masalah-masalah ringan yang tidak memerlukan pelibatan berbagai fihak. Jadi bagaimana konseling itu diselenggarakan??

II. MENGAPA DAN APA ITU KONSELING

Manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap-tahap pertumbuh kembangnya. Dalam setiap tahap pertumbuh-kembangannya, manusia memilki tugas-tugas pertumbuh-kembangan yang harus diselesaikan. Kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas-tugas pertumbuh-kembangannya berakibat individu mengalami masalah (Shertzer, B. & Stone. 1980). Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua individu sukses dalam menyelesaikan tugas-tugas pertumbuh-kembangannya. Ada individu yang gagal pada tahap awal pertumbuh-kembangan, ada pula yang gagal pada tahap tengah pertumbuh-kembangan, ada pula yang gagal pada tahap akhir pertumbuh-kembangannya. Demikian juga respon yang diberikan, akan berlainan bentuknya pada setiap individu yang tidak sukses menyelesaikan tugas-tugas pertumbuh-kembangan. Agar respon yang ditampilkan oleh individu yang mengalami kegagalan dalam menyelesaikan pertumbuh-kembangannya, tidak menimbulkan ancaman bagi lingkungannya, maka lingkungan perlu memberi bantuan kepada individu bersangkutan.

Siswa SLTA adalah individu yang sedang berada pada tahap pertumbuh-kembangan remaja, dalam mana banyak badai dan goncangan-goncangan yang mengejutkan remaja itu sendiri Steiberg. 1993). Masa remaja adalah masa peralihan, di mana individu banyak menemui perubahan-perubahan. Masa remaja juga merupakan masa di mana individu sedang dalam proses menemukan indentitas diri (self identity) dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan pokok “Who am I” (Rogers .1985, Steinberg. 1993, Papalia & Olds. 1995). Banyak hambatan dan gangguan yang menghadang proses penemuan self ldentity. Individu yang mengalami hambatan dan gangguan dalam proses menemukan identitas dirinya akan berakibat remaja mengalami krisis identitas (identity crysis). Selanjutnya apabila remaja gagal dalam menangani krisis identitas (identity crisis solution) mengakibatkan munculnya perilaku menyimpang (malajustmen) yang bentuknya bermacam-macam mulai dari yang positip, agak positip, negatip sampai sangat negatip, misalnya: sangat tekun belajar, corat-coret di sembarang tempat, konflik dengan ortu, dan terlibat tindak kekerasan-kriminal (abuse) dan penggunaan obat-obat terlarang (napza).

Sekolah memilki kuwajiban untuk mencegah dan menangani siswa-siswa yang ditengarai atau kemungkinan mengalami krisis identitas, diminta atau tidak diminta. Itulah sebabnya, sekolah diwajibkan melaksanakan Program BK yang salah satu bentuk layanannya adalah penyelenggaraan layanan konseling. Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada siswa agar siswa mampu memahami jati dirinya (true self), mamahami masalahnya, merancang alternatif pemecahan dan mengambil keputusan. Masalahnya adalah bagimana menyelenggarakan layanan
konseling? Bagaimana keterlibatan Guru-guru, Guru BK dan Wali Kelas dalam penyelenggaraan layanan konseling.

III. Layanan Konseling di Sekolah

1. Bentuk layanan

Layanan konseling merupakan salah satu jenis layanan dalam Program BK Pola 17 di Sekolah. Layanan konseling diselenggarakan dalam dua bentuk, yaitu: (1) Layanan Konseling Perorangan, dan (2) Layanan Konseling Kelompok. Kedua layanan konseling tersebut diselenggarakan secara menyeluruh pada empat bidang bimbingan, yang secara ringkas meliputi :
BIDANG LAYANAN: BIMBINGAN PRIBADI, BIMBINGAN SOSIAL, BIMBINGAN BELAJAR, dan
BIMBINGAN KARIR

Layanan Individual meliputi:membahas dan mengentaskan masalah-2 pribadi siswa, membahas dan mengentaskan masalah-2 hubungan sosial siswa, membahas dan mengentaskan masalah-2 belajar siswa, membahas dan mengentaskan masalah-2 pilihan pekerjaan dan pengembangan karir. Layanan bimbingan kelompok meliputi: membahas dan mengentaskan masalah-2 pribadi siswa dengan media kelompok, membahas dan mengentaskan masalah-2 hubungan sosial siswa dengan media kelompok, membahas dan mengentaskan masalah-2 belajar siswa dengan media kelompok, membahas dan mengentaskan masalah-2 pilihan pekerjaan dan pengembangan karir dengan media kelompok

2. Karakteristik Masalah

Layanan konseling
diselenggarakan untuk masalah-masalah individual yang bersifat pribadi dan layak untuk dipecahkan melalui konseling. Dengan demikian, masalah-masalah umum cukup ditangani melalui layanan bimbingan. Masalah yang layak ditangani dengan konseling apabila memiliki karakteristik seperti berikut (Prayitno. 1997):
masalahnya cukup serius, selalu mengganggu perasaan dan pikiran dan individu tidak mampu memecahkan sendiri permasalahannya. Bila masalah yang dihadapi tidak terpecahkan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas baik bagi individu bersangkutan maupun bagi fihak lain, serta menimbulkan masalah baru bagi Individu dan membutuhkan bantuan agar dirinya dapat hidup lebih efektif dan produktif, selaras dan seimbang perilakunya, serta sehat dan sejahtera mentalnya. Untuk itu diperlukan fihak yang berwenang dan dapat memberikan layanan profesional untuk menuntaskan penyelesaian masalahnya. Di sinilah Konselor sekolah memiliki komitment dan berkompetent memberikan layanan konseling

3. Prinsip-prinsip

Agar konseling dapat diselenggarakan dengan benar dan sesuai dengan makna konseling, maka beberapa prinsip yang harus diperhatikan adalah:

  1. Layanan konseling merupakan bagian penting dari Program BK di sekolah dan merupakan bagian integral dari keseluruhan Program Sekolah
  2. Layanan konseling melibatkan dua orang (konseling individual) atau lebih (konseling kelompok) yang proses penyelesaian masalahnya melalui serangkaian interview sebagai metode pokok
  3. Proses konseling merupakan proses pembelajaran di mana klien melakukan perubahan foundamental dalam sikap, perasaan dan tindakan
  4. Proses konseling lebih mengutamakan penghayatan emosional dari pada rasional intelektual
  5. Relasi dalam konseling bersifat khas antara klien dan konselor
  6. Konselor berwenang dan berkompeten menyelenggarakan konseling

Dengan prinsip seperti tersebut di atas, layanan konseling diselenggarakan dengan tahapan seperti berikut :

  • Tahap I : Menjalin Rapport (Relasi awal yang baik dan kondusif untuk konseling)
  • Tahap II : Kontrak kasus, menyepakati apa – apa yang akan dilakukan
  • Tahap III: Eksplorasi data, memotivasi klien untuk menyatakan diri
  • Tahap IV: Diagnosis, menentukan kekuatan dan kelemahan klien
  • Tahap V: Prognosis, menyusun rencana perlakuan
  • Tahap VI: Tritmen, melaksanakan terapi dan aktualisasi keputusan
  • Tahap VII: Evaluasi dan tindak lanjut

Dengan prinsip dan tahapan penyelenggaraan layanan konseling seperti tersebut di atas jelaslah, bahwa kegiatan layanan konseling dan juga Program BK pada umumnya berbeda dengan penyelenggaraan layanan pendidikan atau pembelajaran, yang dengan demikian Profesi Guru juga berbeda dengan Profesi Konselor meski bekerja pada lapangan yang sama. Lebih jauh, perbedaan ini mengandung makna bahwa keberadaan Program BK tidak mengada-ada atau sekedar ornamen (hiasan) agar penyelenggaraan program pendidikan di sekolah tampak sama seperti yang diundangkan.

Keberadaan Program Pendidikan-pengajaran, Program BK, Program Administrasi Supervisi adalah sama statusnya, yaitu program wajib di sekolah dan memiliki hubungan integral, yang satu sama lain saling melengkapi dan memiliki saling ketergantungan. Inilah yang sekiranya perlu disadari bersama, bahwa berkumpulnya berbagai profesi dalam proses belajar-pembelajaran di sekolah, seyogyanya satu sama lain saling mengakui dan saling menghargai, serta saling membantu.

4. Perkiraan Volume Kegiatan

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa layanan konseling di sekolah adalah salah satu kegiatan dalam program BK di sekolah dan merupakan bagian integral dari keseluruhan program sekolah. Dengan rasio ideal 1 : 150 untuk konselor, 1 : 40 untuk Kasek berpendidikan S1 BK, dan 1 : 75 untuk Wakasek berpendidikan S1 BK, maka volume kegiatan konseling tersebar seperti berikut :

Tabel 1: Perkiraan Volume Kegiatan

Layanan dan Pendukung Program BK ****)





















































































NoJenis LayananVolume Kegiatan (%)Keterangan
1Layanan Orientasi4 – 6 *)
2Layanan Informasi10 – 12
3Layanan Penenmpatan5 – 8
4Layanan Pembelajaran12 – 15
5Layanan Konseling Perorangan / Indiv12 – 15
6Layanan Bimbingan Kelompok15 – 20
7Layanan Konseling Kelompok12 – 15
8Aplikasi Instrumentasi4 – 8
9Himpunan Data - **)
10Konferensi Kasus5 – 8
11Kunjungan Rumah5 – 8
12Alih Tangan Kasus0 - 2 ***)
J u m l a h100 %

Sumber: Seri Pemandu Pelaksanaan Program BK di Sekolah. Buku IV

*) Layanan Orientasi dilaksanakan wajib dilaksanakan setiap awal Tahun Ajaran

**) Himpunan Data dilaksanakan sepanjang Tahun Ajaran

***) Konferensi Kasus diselenggarakan bila dipandang perlu

****) Setiap kegiatan yang berupa tatap muka berlangsung selama + 45 menit. Pelaksanaan berbagai jenis layanan BK tidak harus dalam setting kelas

5. Peran Guru dan Wali Kelas dalam Program BK

Program BK di sekolah tidak mungkin diselenggarakan tanpa keterlibatan guru dan fihak-fihak lain di sekolah. Guru bidang studi khususnya, sebagai tenaga ahli pengajaran dan atau praktik dalam bidang studi atau program latihan tertentu, dan sebagai personil yang sehari-hari langsung berhubungan dengan siswa dapat dilibatkan dalam pelaksanaan Program BK, termasuk dalam layanan konseling.

A. Tugas Guru dalam Program BK di sekolah

  1. Membantu memasyarakatkan program BK kepada siswa dan orang tua siswa
  2. Membantu mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami masalah sekaligus dengan pengumpulan datanya
  3. Mengalih tangankan (referal) siswa yang mengalami masalah kepada Guru BK / Konselor
  4. Menerima alih tangan dari Guru BK / Konselor, klien yang menurut Guru BK / Konselor memerlukan layanan pengajaran, seperti: pengajaran perbaikan (pengajaran remidi), latihan metode belajar, program pengayaan dan sebagainya)
  5. Membantu mengembangkan suasana kelas yang kondusif bagi terlaksananya Program BK
  6. Memberikan fasilitas bagi siswa yang memerlukan bantuan layanan BK
  7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penyelenggaraan BK, misalnya dalam konferensi kasus, informasi dan orientasi, dan sebagainya
  8. Membantu mengumpulkan informasi atau data untuk keperluan Evaluasi Program BK dan tindak lanjut

B. Tugas Wali Kelas

  1. Membantu Guru BK / Konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya
  2. Membantu Guru Bidang Studi melaksanakan perannya dalam Program BK, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya
  3. Membantu memberikan kesempatan bagi siswa, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk menjalani layanan atau kegiatan BK
  4. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus BK, misalnya dalam konferensi kasus, informasi dan orientasi, dan sebagainya
  5. Mengalih tangankan siswa yang memerlukan layanan BK kepada Guru BK / Konselor

Dalam layanan konseling Guru Bidang Studi maupun Wali Kelas dapat berperan khususnya dalam identifikasi data klien.

6. Dimensi-dimensi Konseling

Konseling diselenggarakan dengan berbagai dimensi, seperti berikut (Aisha. 2004):

  • Dari prosesnya, konseling dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Konseling Direktif, dan (2) konseling Non-direktif
  • Atas dasar jenis masalahnya, konseling juga dibagi dua, yaitu: konseling individual, dan (2) konseling kelompok
  • Atas dasar setting waktu, konseling dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) konseling reguler, dan (2) konseling cepat (speed counseling)
  • Atas dasar spektrumnya, konseling terdiri dari : (1) konseling terpusat (Centered Counseling), dan (2) konseling kolaboratif
  • Dilihat dari model pendekatannya, konseling terdiri dari: (1) konseling psikoanalisis, (2) Konseling behavioristik, (3) Konseling Humansitik, (4) konseling Eksistensial, (5) konseling Rasional-Emotif, (6) Konseling perilaku-kognisi (cognitive-behavior), (7) Konseling Gestalt, (8) Konseling Berpusat pada Klien (Client-Centered)

7. Penutup

Program BK di sekolah termasuk di dalamnya program Layanan Konseling merupakan bagian integral dari keseluruhan Program Sekolah. Pada dasarnya Program BK di sekolah melibatkan secara proporsional semua fihak yang ada di sekolah. Layanan konseling sebagai bagian terpenting dalam Program BK harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang dan mampu secara
akademis dan profesional (Sarjana S1, S2, dan S3 BK), agar sesuai dengan prinsip-prinsip hakekat konseling. Penugasan Guru dan konselor yang tidak sesuai dengan kegiatan profesionalnya, akan berakibat memudarnya kesadaran profesional dan menurunnya kualitas profesi yang bersangkutan. Guru, Wali Kelas dapat dilibatkan dalam Layanan Konseling, sebatas pada konseling untuk masalah-masalah yang tergolong ringan, khususnya untuk identifikasi data siswa.

Semarang, Awal Tahun 2006

Bacaan Rujukan

Cormier, W.H. & Cormier, L.S. (1985). Interviewing Strategies for Helper Foundamentals Skills and Cognitive Behavioral Intervention (2nd ed.). Monterey-California. Brooks/Cole Publishing, Co

Depdikbud. (1996). Seri Penduan Pelaksanaan Program BK di SMA (Buku IV). Jakarta. Dikdasmen

Dupont-Joshua, Aisha.(2003). working Inter-Culturally in Counselling Setting. Taylor & Francis Group. Hove And New York. Brunner-Routledge

Neenan Michael & Dryden Windy. (2004). Cognitive Therapy: 100 Key Points & Teckniques. Taylor & Francis Group. Hove And New York. Brunner-Routledge.

Prayitno.(1996). Bimbingan Konseling di sekolah. Jakarta. Dirjen Dikti – P3G

Sciarra, Daniel. (2004). School Counseling: Foundations and Contemporary Issues. Singapore. Thomson Brookes Cole

Steinberg, L. (1993). Adolescence. International Ed. New York. Mc Graw-Hill. Inc.

_______________________________________ *) Disampaikan dalam Pelatihan Guru-guru/Guru BK/Wali Kelas Program Prevention Unit – SMA 17 Agustus 1945: 11 – 12 Januari 2006 di Semarang **) Dosen BK FIP UNNES

Tidak ada komentar: