Kamis, 01 Mei 2008

PENANGGULANGAN BANCANA SOSIAL MELALUI PENDEKATAN LINTAS BUDAYA *)

I. Pendahuluan

Sejak berlangsungnya Era Reformasi di Indonesia Tahun 1997, suatu era atau babakan baru dalam mana Bangsa Indonesia berharap datangnya suatu era kehidupan baru yang penuh dengan suasana demokratis, adil makmur dan sejahtera. Namun setelah era ini berlangsung beberapa saat di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini, harapan yang tadinya akan terwujud dengan indah dan sesegera mungkin, ternyata sampai sekarang harapan itu masih tetap menjadi harapan belaka. Bahkan beberapa kalangan mulai ragu apakah harapan itu memang ada atau hanya impian kosong. Sementara sebagian kalangan lainnya mulai membanding-bandingkan, ternyata era yang didambakan tidak lebih baik dari era yang ditinggalkan, bahkan ada kalangan yang rasan-rasan bahwa kondisi pada era yang telah dicampakan, terasa lebih “nyaman” dibandingkan dengan era baru yang dirasakan sekarang ini.

Bila kita amati kondisi di sekitar kita ini, sejak berhembusnya Era Globalisasi Tahun 1990 di hampir sebagian besar belahan dunia ini, terlebih lagi setelah lahir Era Reformasi Tahun 1997, bencana demi bencana terus bermunculan. Dalam skala global, runtuhnya Tembok Berlin Tahun 1986, runtuhnya paham Komunis di Wilayah belahan dunia bagian Timur dan Selatan, runtuhnya Negara-negara Balkan Tahun 1990 an, berkecamuknya Perang Teluk, menunjukkan adanya bencana yang menelan korban tidak sedikit.

Dalam lingkup nasional, Era Reformasi telah memunculkan persoalan-persoalan yang menimbulkan bencana khususnya bencana sosial, seperti pertentangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang berakibat munculnya pengerahan massa untuk melakukan demo menggugat Pemerintahan Pusat, persoalan batas wilayah antar Negara dan antar daerah, pemberlakuan keputusan pemerintah di pemerintahan daerah, persoalan pengangguran, masalah politik, pelintas batas, penelantaran, pelecehan hokum, masalah penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai persoalan lainnya, yang semuanya hampir berujung pada munculnya bencana sosial.

Bencana sosial yang ada disekitar kita ini tentu tidak bisa kita biarkan saja. Bencana sosial pada dasarnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Di bawah kordinasi instansi yang bersangkutan, dalam hal ini khususnya Departemen Sosial di Tingkat Pusat, dan Dinas Kesejahteraan Sosial di Tingkat daerah, bersama masyarakat harus berupaya menanggulangi bencana Sosial. Persoalannya adalah, dalam kondisi masyarakat kita yang beragam kultur dan semakin terbuka ini, bagaimana upaya penanggulangan bancana sosial dapat dilakukan? Inilah yang akan kita bicarakan, dengan mengambil tema ”Penanggulangan bencana sosial dengan pendekatan multi-kultural”

II. Pengertian

Untuk menyamakan persepsi, sebelum sampai pada uraian lebih lanjut, berikut ini penulis sampaikan terlebih dahulu beberapa pengertian, yang sebagian di antaranya merupakan pengertian teknis.

  1. Bencana sosial adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat yang mengakibatkan korban, penderitaan atau kerusakan baik jiwa, harta benda, maupun pranata sosial. Karakteristik bencana social ditandai oleh (a) adanya kerugian/kerusakan pola kehidupan normal yang cukup parah, (b) timbulnya penderitaan pada manusia baik kematian, luka-luka, cacat dan kesengsaraan, serta trauma psikologis pada masyarakat, dan (c) timbulnya kerusakan pada tatanan pemerintahan, bangunan dan berbagai sarana pelayanan umum lainnya.
  2. Korban bencana sosial adalah seseorang, kelompok ataupun komunitas masyarakat yang menderita akibat terjadinya konflik atau kerusuhan sosial.
  3. Jenis bencana sosial maliputi kerusuhan social, huru-hara atau konflik social, pencemaran lingkungan, repatrian dan pelintas batas.
  4. Konflik sosial adalah perselisihan, pertikaian antar individu, kelompok dan atau masyarakat baik dalam skala kecil, menengah maupun besar (nasional), yang menyebabkan terganggunya atau rusaknya tatanan sosial dan atau timbulnya kerugian meteril dan non-meteril.
  5. Secara teoritis, konflik sosial dapat diartikan dari pengertian sederhana, misalnya “pertentangan pandangan antara dua kelompok individu yang menimbulkan kerugian” ( O’ Halloran, J.C.P. 1998) sampai kepada pengertian samapai kepada pengertian yang komplek, seperti “ suatu proses mempengaruhi yang saling merugikan dari dua kelompok orang, dengan cara melakukan kekerasan fisik atau psikis, yang mengakibatkan perasaan dan ketenteraman orang lain terganggu atau terancam (Barker, Larry, L. 1998).
  6. Integrasi sosial adalah kualitas dan intensitas hubungan sosial antar individu, kelompok atau komunitas masyarakat atas dasar keserasian, keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan sehingga menciptakan suasana kehidupan sosial yang damai, saling percaya, solidaritas, dan setia kawan dalam kemajemukan.
  7. Pencegahan bencana sosial adalah proses terjadinya bencana sosial, menghambat perkembangan bencana sosial agar tidak berkembang lebih luas, serta proses menghindari terulangnya kembali terjadinya bencana sosial.
  8. Penyelematan dan pemulihan korban bencana sosial adalah proses memberikan bantuan tanggap darurat dan mengembalikan fungsi sosial korban bencana sosial sehingga yang bersangkutan dapat menjalankan peranan sosialnya secara wajar.
  9. Pemberdayaan sosial adalah proses menumbuhkan, membangun, memperkuat, mengembangkan dan mendaya gunakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial individu, keluarga, kelompok atau komunitas masyarakat dan pranata sosial agar mampu meningkatkan taraf kesejahteraan dan berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.
  10. Pengembangan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sosial merupakan serangkaian proses peningkatan motivasi, kemampuan dan peran petugas lapangan dalam melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sosial khususnya bencana kebakaran.
  11. Penanggulangan bencana sosial adalah bantuan tanggap darurat agar bencana sosial dapat tertangani secara cepat, tepat dan mudah terarah, serta meminimalisir dampak yang muncul.
  12. Pendekatan Multi-kultural (lintas-budaya) adalah pendekatan yang mendasarkan pada kesadaran dan penerimaan adanya perbedaan budaya.

III. Memahami Bencana Sosial dan permasalahannya

Dalam literatur, istilah bencana sosial sering dipadankan dengan istilah konflik sosial; yang membedakannya adalah eskalasinya, baik menyangkut peristiwanya maupun dampaknya. Bahkan kalau dirunut ke belakang, bencana sosial termasuk dalam kajian prasangka (Goodin & Klingamann, 1998). Berikut ini uraian tentang prasangka dan konflik.

1. Prasangka.

Pelopor teori prasangka, G. Allport menyebutkan, bahwa prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes, yang dapat dinyatakan dan dirasakan. Antipati bisa muncul pada seseorang secara individual atau pada kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin mendengar ucapan “ Saya tahu, kalau Bapak X yang orang (Batak, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Madura, dsb) itu kelakuannya begini begitu”. ini adalah ungkapan individual yang belum tentu kebenarannya. Atau “ Orang Madura kalau berselisih dengan orang Banjar, jadilah......; tapi kalau orang Banjar berselisih dengan orang Jawa biasanya bisa diatur”. Ini adalah ungkapan kelompok (etnis), yang belum tentu juga kebenarannya. Tetapi kata kunci dari prasangka dalam teori G. Allport adalah “antipati”

Sementara Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya). Menurut Adorno, tidak ada prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang yang berbeda. Kesimpulannya, prasangka sangat tergantung dari cara orang memandang prasangka tersebut.

Kedua tokoh prasangka tersebut sama-sama menyetujui, bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran keyakinan dan kepercayaan. Dengan demikian, prasangka bukanlah tindakan. Prasangka menjadi tindakan manakala ada diskriminasi yang mengarah ke tindakan sistematis, yaitu tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan (relasi), pergaulan serta komunkasi antar manusia. Misalnya dengan cara mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan pemindahan (pengusiran, penelantaran, migrasi, emigrasi, imigrasi, resetlement, dan sebagainya), membuat huru-hara, teror, profokasi, dan sebagainya.

Prasangka muncul disebabkan oleh berbagai faktor. Jhonson (1986) menengarai, bahwa prasangka itu disebabkan karena : (1) adanya perbedaan persepsi antara dua kelompok, (2) nilai budaya kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas, (3) stereotipe antar etnik, dan (4) adanya kelompok etnik yang merasa paling super dan menjadikan kelompok etnis lain menjadi inferior (Misal Jawa: Jogja, Solo, Semarangan, Pantura, Banjar; atau Dayak Hulu, Dayak Hilir, Dayak Iban; atau Banjar Hulu Sungai Utara, Banjar Hulu Sungai Tengah, Banjar Hulu Sungai Selatan, dan seterusnya ). Zastrow (1989) mengemukakan bahwa prasangka bersumber dari: (1) adanya upaya mempertahankan ciri kelompok secara berlebihan, (2) frustasu, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang, (3) ketidak samaan dan kerendah dirian, (4) kesewenang-wenangan, (5) alasan historis, (6) persaingan yang tidak sehat yang mengarah kepada eksplotasi, (7) cara-cara sosialisasi yang berlebihan, dan (8) cara mamandang kelompok lain dengan sinis.

2. Konflik.

Konflik tidak dipahami sebatas adanya pertentangan fisik atau nonfisik yang dapat dilihat secara kasat mata. Secara teoritik, konflik memiliki berbagai pengertian dan makna, yaitu antara lain :

  1. Konflik bisa dipandang sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan nilai, sikap, kepercayaan dan kebutuhan
  2. Hubungan pertentangan antara dua fihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan
  3. Bentuk pertentangan yang bersifat fungsional untuk mencapai tujuan (individu atau kelompok) dengan cara menghilangkan fungsi (disfungsional) fihak yang satu terhadap fihak lainnya
  4. Dari segi lintas-budaya (multi-kultural), konflik bisa dipandang sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau sekelompok individu yang berbeda (etnik, suku, ras, agama, golongan), karena di antara mereka memilki perbedaan dalam nilai, sikap, kepercayaan dan kebutuhan.

Atas dasar berbagai teori konflik, baik secara individual, kelompok ataupun lintas-budaya kiranya dapat ditarik beberapa unsur yang terkandung dalam konflik lintas budaya, yaitu (Stuart & Sundee. 1995):

  1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat, sehingga ada interaksi dan relasi antar personal dan antar kelompok diantara mereka
  2. Ada tujuan yang menjadi sasaran konflik. Tujuan inilah yang biasanya menjadi sumber konflik
  3. Ada perbedaan nilai, kepercayaan, pikiran dan tindakan pada masing-masing kultur dalam mencapai tujuan
  4. Ada kondisi yang bertentangan pada fihak-fihak yang terlibat konflik

Konflik bernuansa lintas-budaya muncul apabila terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut (Dahrendorf. 1997):

  1. Ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil dalam suasana kebersamaan
  2. Pembagian peran, fungsi dan posisi yang kurang proporsional antar anggota kelompok atau antar kelompok
  3. Kelangkaan sumber daya yang menjadi kebutuhan, sehingga antar kelompok saling menutup diri terhadap kelompok lain
  4. Perbedaan sejarah terbentuknya budaya (nilai, keyakinan, sikap dan tindakan) dalam pemenuhan hajat hidup
  5. Mampatnya batas-batas perbedaan budaya dalam satu wilayah, dalam mana terjadi persaingan yang tidak wajar/sehat untuk mencapai tujuan masing-masing
  6. Produktifitas yang sangat tidak seimbang dengan kebutuhan masing-masing kelompok (Suku, agama, ras, etnis, dsb)
  7. Konflik latent yang belum terpecahkan.

Kondisi-kondisi tersebut masih dibarengi oleh emosi dan tindakan agresif. Bila kondisi tersebut masih dalam suasan emosional, mungkin masih bisa dikendalikan. Akan tetapi kalau kondisi tersebut sudah dibarengi dengan tindakan emosional apalagi tindakan agresif, maka penanganannya akan sulit sekali. Dalam eskalasi yang besar, konflik akan berubah menjadi bencana; konflik sosial dalam skala besar akan berubah menjadi bencana sosial. Konflik sosial yang bernuansa multi-kultural dalam skala yang besar akan berubah menjadi bencana sosial bernuansa multi-kultural. Misalnya, konflik antar pendukung kesebelasan sepakbola, akan menjadi bencana apabila ruang lingkupnya meluas menembus batas-batas suatu wilayah. Masih ingat kasus “Bonek” dari Surabaya dan Makasar yang mengamuk gara-gara kesebelasannya gagal dalam kompetisi. Atau demo buruh suatu BUMN berubah menjadi demo buruh secara nasional.

Dari kondisi-kondisi yang memicu timbulnya konflik dan faktor-faktor pendorongnya sebagaimana diuraikan di atas, proses pemunculan konflik bernuansa lintas-budaya umumnya mengikuti tahapan seperti berikut (Allo, L. 2005):

Tahap I: Munculnya variabel-variabel antesedent (variabel pendahulu) yaitu variebel yang mendahului konflik, yang meliputi: (1) buruknya komunikasi, (2) tidak efetifnya interaksi struktural baik dalam sistem ataupun di luar sistem kelompok, dan (3) banyaknya ragam individu atau kelompok yang terlibat konflik.

Tahap II: Munculnya suasana kognitif dan personal, yaitu setiap individu dalam kelompok mulai memahami dan memilki pengetahuan mengenai konflik yang akan terjadi dengan segala akibatnya, serta personal (orang-orang) yang akan terlibat konflik. Pada tahap ini, konflik bisa bersifat “berterima” artinya munculnya konflik nyata diterima sebagai akibat logis adanya beda budaya (nilai, keyakinan, sikap dan tindakan), dan bersifat “rasa” yaitu bahwa suasana batin seluruh pihak dan anggotanya merasakan suasana konflik.

Tahap III: Proses Pemilahan (Deskripsi). Pada tahap ini fihak-fihak yang terlibat konflik mulai melakukan deskripsi terhadap berbagai fihak yang terlibat konflik. Kelompok mana yang mementingkan diri sendiri, kelompok mana yang berbagi masalah dengan kelompok lain, kelompok mana yang menyendiri, kelompok mana yang berkolaborasi dan saling mengakomodasi, dan sebagainya.

Tahap IV. Memasuki konflik. Pada tahap ini fihak-fihak yang telibat konflik mulai melakukan tindakan-tindakan konflik, yang diawali dengan perwujudan-perwujudan emosi, misalnya saling mencemooh, mengejek, mengumpat, mengancam, mengultimatum sampai kepada menyerang, dan menghancurkan. Mungkin mulainya dari tindakan emosional antar individu antar kelompok, bersejajar kekuatan, saling menjegal, terus membesar sampai menjadi konflik sosial, bahkan mungkin sampai menjadi bencana sosial berskala nasional.

Tahap V. Periode fungsional dan disfungsional. Pada tahap ini, fihak-fihak yang terlibat konflik mulai melakukan resolusi dan menstimuli konflik, yaitu mencari jalan untuk memecahkan konflik. Konflik akan berubah sifatnya dari konflik agresif menjadi konflik fungsional atau atau konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang menghasilkan: (1) upaya memperbaharui keputusan, (2) inovasi dan kretivitas baru, (3) meningkatkan kesadaran, perhatian, pemahaman, penerimaan, rasa ingin tahu, keinginan untuk evaluasi dir (self assesment). Atau sebaliknya konflik menjadi berkepanjangan karena munculnya: (1) hambatan komunikasi, (2) berkurangnya derajat kohesi, (3) mengganti tujuan dengan permusuhan, (4) berkurangnya fungsi dan peran, dan (5) semakin banyaknya ancaman.

3. Bencana Sosial

Sebagaimana diuraikan dalam pengertian bahwa bencana sosial adalah persitiwa atau rangkaian persitiwa konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat yang mengakibatkan korban, penderitaan atau kerusakan baik jiwa, harta benda, maupun pranata sosial. Karakteristik bencana social ditandai oleh (a) adanya keriguan/kerusakan pola kehidupan normal yang cukup parah, (b) timbulnya penderitaan pada manusia baik kematian, luka-luka, cacat dan kesengsaraan, serta trauma psikologis pada masyarakat, dan (c) timbulnya kerusakan pada tatanan pemerintahan, bangunan dan berbagai sarana pelayanan umum lainnya.

Atas dasar pengertian tersebut dapatlah dipahamai bahwa bahwa bencana sosial (social disaster) adalah konflik sosial dan lebih khusus lagi konflik sosial yang disfungsional dalam eskalasi (cakupan) yang lebih luas. Secara politis, bencana individual bahkan dapat dipakai sebagai simbol bencana sosial, bencana nasional, bahkan bencana global. Kasus Sum Kuning, Kasus Marsinah, Kasus Udin (Wartawan Bernas Jogja), Mahatma Gandhi, Geuverez, dan sebagainya. Dengan demikian, memahami konflik, konflik sosial, konflik sosial bernuansan multi-kultural, adalah sekaligyus sebagai memahami bencana sosial.

IV. Makna Multi-kultural (Lintas-budaya)

Pada awalnya multi-kultural (lintas-budaya) merupakan sebuah “ideologi” dari masyarakat multi-kultur, yaitu masyarakat yang terbentuk dari keragaman budaya. Multi-kultur pada awalnya juga dipahami sebagai “respon” terhadap masyarakat multi kultur. Dengan demikian pada masyarakat multi-kultur terbuka ruang untuk saling berintegrasi dan berelasi satu sama lain. Dengan demikian setiap kultur yang ada dalam masyarakat multi-kultur dapat mengekspresikan diri untuk mengembangkan masyarakat multi-kultur. Ini merupakan aspek penting dalam pengembangan budaya suatu bangsa.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun dengan cerdas oleh para pendirinya untuk mengantisipasi perkembangan kedepan yang lebih baik. Dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” NKRI berdiri dalam keragaman (Unity in diversity) atau keragaman yang ada dalam NKRI menjadi penyokong dan tiang terbentuknya NKRI ( Diversity in Unity). Mengembangkan masyarakat multi-kultur bukan hal yang mudah, karena kultur yang ada di dalamnya selalu berkembang dan berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan kemajuan spektakular di bidang informasi dan teknologi, fluktuasi budaya menjadi semakin amat cepat meninggalkan nilai tradisional. Sehingga bagi individu atau kelompok yang tidak siap, akan menimbulkan persoalan-persoalan yang rumit.

1. Pengertian

Beberapa pengertian multi-kultural secara akademis seperti berikut:

  1. Multi-kultur adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan. (1) Multi-kultur sebagai kondisi kemajemukan budaya atau pluralisme budaya, dimana masing-masing budaya yang ada di dalamnya diasumsikan bisa saling berintegrasi dan membentuk toleransi. (2) Multi-kultur adalah seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh lapisan masyarakat yang ada di dalamnya dapat menerima kebijakan dimaksud. Ini untuk menjamin, bahwa semua kultur dan lapisan masyarakat yang mendukung terbentuknya suatu negara memperoleh perlakuan yang adil.

  2. Multi-kultur di hampir sebagian besar negara di dunia dianggap sebagai suatu konsep sosial yang diintroduksi ke dalam kebijakan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pemerintah dianggap paling representatif untuk mengakomodasi seluruh kepentingan kultur yang di dalamnya. Harapannya adalah, kebijakan pemerintah mampu mendorong lahirnya sikap apresiatif, toleran, kesetaraan antar pelbagai kelompok etnis.

  3. Dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, multi-kultur adalah strategi pendidikan dengan memanfaatkan keragaman kultur peserta didi sebagai salah satu potensi untuk membentuk sikap multi-kultur. Strategi ini sangat penting, karena sekolah sebagai lembaga pemegang amanat masyarakat dalam mencerdaskan bangsa, dapat menumbuhkan sikap kebersamaan, toleransi dan demokrasi. Dalam konvensi PBB, pendidikan di masa mendatang menekankan kepada pilar “ learning to lieving together” (belajar untuk hidup bersama), disamping tiga pilar lainnya: “ learning to know, learnign to do, dan learning to be” (Delloors. 1997)

  4. Multi-kultural sebagai suatu ideologi merupakan gagasan bertukar nilai, keyakinan, sikap dan perilaku melalui pertukaran atau asimilasi pergaulan dalam kehidupan seharai-hari (Sleeter. 1990). Melalui ideologi multi-kultural itulah, kita semua diajak untuk menyadari, menerima standar umum kebudayaan yang dapat mengarahkan kehiduapan kita untuk hidup bersama dalam masyarakat yang mejemuk.

Atas dasar pengertian-pengertian tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan sederhana bahwa:

  1. Multi-kultural adalah sebuah “doktrin” untuk kehidupan masyarakat majemuk, masyarakat masa depan yang berada pada ruang (space) yang sama “satu langit satu bumi”, masyarakat yang tidak lagi tersekat-sekat oleh batas-batas wilayah suatu negara (Naisbit, J. 1998), kemajemukan masyarakat yang disamakan oleh informasi dan teknologi. Ini semua menyadarkan kepada kita semua perlunya mengubah pola pikir kita dari sekat-sekat budaya “Barat”, budaya “Timur” menjadi “budaya” manusia yang hidup dalam masyarakat manusia. (Apa yang sering kita dengar dari orang-orang tua kita ” Wong sing biso nguwongke wong”)

  2. Multi-kultural sebagai sebuah ideologi, yang menyadarkan kita semua untuk menerima perbedaan, dan menolak budaya yang distruktur secara kaku, misalnya “budaya nasional”; “persatuan dan kesatuan”. Budaya yang distruktur demikian cenderung mengabaikan bahkan menghapuskan budaya-budaya asli daerah, dan tidak menyadari bahwa kehidupan dewasa ini adalah kehidupan multi-kultur bahkan kahidupan global, suatu tatanan kehidupan di mana budaya-budaya hidup secara berdampingan, serasi, harmonis, dan demokratis (Wilson, M. 2001, Huntington, P. 2002) . Pihak-pihak yang mengklaim sebagai “nasionalis” harus mempertahankan “budaya nasional” pada akhirnya juga akan berubah secara alamiah untuk menerima budaya plural atau budaya global (Matsutomo, D. 2004)

2. Teori-teori Multi-kultural

Beberapa teori multi-kultural (lintas-budaya) untuk menjelaskan situasi masyarakat multi-kultural, dapat diterangkan berikut ini:

Sokrates (470 – 399), seorang filsuf Yunani yang sangat tersohor sampai sekarang, dikenal dengan konsep self-knowledgenya yaitu konsep tentang “pemahaman diri” seseorang. Menurut Socrates, manusia menjadi baik apabila memahami dirinya dengan baik. Manusia yang mampu memahami dirinya dengan baik, akan mampu memandang orang lain dengan baik pula. Manusia yang memilki self-knowledge adalah manusia dewasa. Masyarakat multi-kultur akan terwujud, kalau manusianya mampu memahami dirinya masing-masing dengan baik.

Plato, murid Socrates; ia melahirkan filsafat metafisika yang disebut idea yaitu substansi dan hakekat dari segala yang nyata. Plato mengajarkan multi-kultural melalui pendidikan dengan menerapkan kurikulum liberal arts, yaitu kurikulum berbasis “semua untuk semua”. Dengan kurikulum ini diharapkan manusia kelak memilki kebebasan (liberalisme) untuk mengetahui semua hal, mengetahui secara nalar (wajar) untuk menyadari, memahami semua budaya yang ada dilingkungannya.

Jean Piagiet, tokoh yang membahas tentang konstruksi pengembangan pengetahuan manusia (construction of human knoledge). Menurut Piagiet, pengetahuan manusia terus berkembang sesuai dengan tahap pertumbuh kembangannya, sehingga manusia akan mampu menjawab sendiri segala permasalahan yang dihadapi. Pengetahuan mambuat manusia menjadi konstruktif, mampu melakukan perubahan, dan mengalami kemajuan (constructive, changing, progressing). Masyarakat multi-kultural adalah masyarakat yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya untuk tujuan membangun, merubah menjadi labih baik dan mendorong kemajuan dan berkembangnya kultur yang ada di dalamnya.

Pedersen, pakar psikologi yang mendalami multi-kultural dalam bidangnya mengatakan bahwa multi kultural adalah sebuah konsep yang membahas bertemunya dua budaya atau lebih dalam satu spacement (ruang dan waktu) yang satu sama lain saling bersinergi untuk menjaga dan mengembangkan masyarakat yang memungkinkan setiap kultur dapat bertumbuh-kembang secara wajar di antara kultur-kultur lainnya.

Atas dasar teori-teori sebagaimana diurasikan di atas ternyatalah, bahwa pada intinya multi-kultural adalah adanya keberagaman, dan kesadaran serta penerimaan tentang perbedaan, sehingga perbedaan tersebut meskipun rawan terjadinya bias pemahaman, tetapi tetap dapat diterima oleh seluruh fihak, dijaga dan dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam masyarakat multi-kultural kesadaran dan penerimaan adanya perbedaan merupakan kata kunci untuk mengembangkan masyarakat.

V. Model multi-kultural untuk menangani bancana sosial

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa bencana sosial adalah bentuk konflik sosial dalam eskalasi yang besar, sehingga kerugian dan akibat yang ditimbulkan juga berskala besar bahkan nasional. Prinsip penanganan bencana, konflik termasuk di dalamnya konflik sosial ataupun bencana sosial adalah “menang tanpa masalah untuk semuanya“ (win – win solution ). Pendekatan multi kultural untuk menangani bencana sosial menyodorkan beberapa model antara lain:

  1. Model pluralisme budaya, yaitu pemecahan bencana sosial dengan cara menempatkan semua fihak yang terlibat konflik dalam posisi yang sederjat, agar masing-mqasing fihak dapat saling berasimilasi. Hal ini dapat berfungsi sebagai resolusi konflik. Dapat juga ditempuh dengan cara akomodasi, yaitu mendorong semua fihak yang terlibat konflik untuk bersedia menerima perbedaan. Untuk itu, negosiator perlu memilki kemampuan untuk memberikan stimulus dan respon yang positif terhadap munculnya perbedaan. Negosiator perlu berkolaborasi dengan tokoh kunci fihak-fihak yang berseteru.
  2. Model akulturasi Collen Ward, yaitu model penanganan bencana sosial melalui pemahaman identitas diri (self identity). Masing-masing fihak didorong untuk memahami identittas diri masing-masing dengan cara meningkatkan pengetahuan setiap warga untuk mengenali identitas diri dan identitas orang lain. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam peta diri (kelompok) dan peta orang (kelompok) lain harus diubah. Semakin kecil perbedaan peta kognitifnya akan semakin baik. Negosiator dituntut memilki pengetahuan yang luas tentang cara-cara melakukan pemahaman self identity yang bersih dari bias budaya
  3. Model Hipotetik Kontak, dikemukakan oleh Gordon Allport. Pendekatan ini mengajarkan, bahwa bencana sosial dapat dihindari kalau masing-masing fihak yang terlibat konflik dapat saling melakukan kontak. Semakin intensif kontak yang dilakukan akan semakin positif untuk penanggulangan bencana sosial. Dalam hal ini negosiator dapat berperan sebagai fasilitator.
  4. Model analisis berbasis konflik internal dan eksternal

    Bencana sosial dapat dianalisis berdasarkan kecukupan kebutuhan dan pengaruh luar yang mendorong munculnya bencana. Bencana sosial yang disebabkan karena konflik internal biasanya berakar pada tidak terpenuhinya kebutuhan, baik secara individual ataupun kelompok. Sedangkan bencana sosial yang disebabkan karena konflik eksternal karena ada fihak-fihak (provokator??) di luar kelompok yang ikut mempengaruhi munculnya konflik. Misalnya dalam kasus hasil UAN. Secara nasional, tingkat kelulusan SMU hanya mencapai 69 %. Siswa sebuah SMU di Jakarta melakukan kerusuhan karena merasa hasil UAN tidak dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu LULUS; ini termasuk konflik internal. Sementara siswa sebuah SMU di Samarinda mengamuk merusak sekolah dan menyerang Guru. Setelah kerusuhan ditangani petugas, ternyata ada sejumlah preman yang menyusup kesekolah dan menghasut siswa untuk berbuat anarki. Ini termasuk konflik eksternal.

  5. Model penanganan bencana Sosial berbasis Dinamika kelompok

    Pendekatan ini didasarkan kepada solidaritas kelompok. Setiap kelompok dengan segala aspek budayanya memiliki derajat (intensitas) solidaritas sendiri-sendiri. Intensitas solidaritas kelompok ini disebut dengan dinamika kelompok. Derajat dinamika kelompok kelompok terentang dari yang rendah sampai yang tinggi. Dinamika kelompok yang ideal adalah dinamika yang berada pada titik tengah, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi pula. Karena dinamikan yang terletak pada titik ekstri rendah atau tinggi, rawan konflik.

Sifat derajat dinamika kelompok juga terntang dari sifat dinamika yang konstruktif dan harmonis sampai kepada dinamika yang merusak dan penuh konflik. Dinamika kelompok yang harmonis dan konstruktif adalah dinamika yang mendorong solidaritas kelompok untuk kerjasama, termasuk untuk memecahkan masalah-masalah esensial dalam menentukan efektivitas dinamika kelompok ataupun organisasi. Sebaliknya dinamika kelompok yang merusak adalah dinamika yang mendorong terbentuknya solidaritas eksklusif dari komunitas lain. Kelompok profesional dan kelompok partai adalah contoh dari kedua sifat dinamika kelompok.

Sifat dinamika dapat berubah secara cepat dan tiba-tiba. Kondisi eksternal dan internal kelompok sangat mempengaruhi dinamika kelompok. Masyarakat yang tadinya guyup rukun, tiba-tiba menjadi agresif dan penuh konflik setelah diintervensi oleh politik atau bencana alam tertentu. Program Sumbangan Tunai Langsung (SLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Murid (BOM), Bantuan Tanggap Darurat misalnya, secara tiba-tiba dapat merubah sifat keharmonisan masyarakat menjadi sifat anarki masyarakat.

Masih banyak lagi sebenarnya model-model lain dalam menangani bencana sosial dengan pendekatan multi-kultural. Tetapi menurut anggapan penulis, kelima model itulah yang kiranya cocok untuk diterapkan sesuai dengan kondisi sekarang. Dan tidak tertutup kemungkinan ada model-model lain yang lebih cerdas (smart), yang justru sering diabaikan oleh kalangan birokrat, yaitu model-model penanganan bencana sosial yang direka dan berlaku pada masyarakat atau komunitas sosial setempat, yang disebut dengan kearifan lokal (local genius / local wishdom)

VI. Manfaat

Manfaat apa yang diperoleh dengan mempelajari konflik lintas-budaya? Manfaat umum yang kita peroleh dalam mempelajari konflik multi-kultural adalah:

  1. Dapat mengetahui siapa saja yang terlibat dalam konflik
  2. Dapat memahami sumber atau sebab terjadinya konflik
  3. Mengetahui proses terjadinya dinamika konflik
  4. Dapat mendeteksi spacement (waktu, tempat, geografis, sosiologis, antropologis, sosial psikologis dan sosial budaya) terjadinya konflik
  5. Mampu mendeskrisikan beda karakteristik konflik
  6. Dapat menentukan dengan tegas antara konflik dengan persaingan
  7. Untuk mengetahui tipologi, bentuk dan pola perilaku, dinamika, struktur dari setiap konflik
  8. Untuk mengetahui interkasi dan relasi antara beragam konflik dari berbagai level, mulai dari level antar individu, antar kelompok, antar suku, bahkan antar bangsa
  9. Untuk mengetahui dampak konflik terhadap semau level interaksi kemanusiaan
  10. Untuk menganalisis mengapa dan bagimana terjadinya konflik, mulai dari fihak yang terlibat, sumber dan pengaruhnya terhadap fihak-fihak yang terlibat, model pendekatan, metode dan teknik yang dapat digunakan untuk menangani konflik.
  11. Untuk memberikan saran kepada fihak-fihak yang terlibat konflik dalam peneyelesaian masalahnya, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kerja sama dengan semua fihak dalam menyelesaiakn konflik (Barry, K. et al. 2001)

VII. Penutup

Bencana sosial adalah jenis bencana yang memerlukan penanganan secara komperhensif, efektif , cerdas dan progresif, serta tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaa dengan segala kultur yang melingkupinya. Para petugas diharpakan berpikir dan bersifat arif dalam merancang dan melaksanakan penanganan bencana sosial, khususnya penanganan tanggap darurat yang memerlukan kecepatan dan ketepatan kerja.

Dengan mengakomodasi pendekatan multi-kultural diharapkan semua upaya yang dilakukan untuk menangani bencana sosial tetap berada dalam koridor “manusia yang menangani masalah manusia dengan cara-cara dan dalam suasana kemanusiaan”. Semoga

Oleh : Imam Tadjri

1 komentar:

Sholeh Koesdianto mengatakan...

Selamat datang...pak!
Semoga blog ini bisa jadi bahan bacaan, berbagi ilmu dan tukar pikiran yang berguna.